KABUPATEN BOYOLALI, Jawa Tengah
Terletak bersampingan satu sama lain, kedua situs bersejarah ini terjalin benang merah dalam perkembangannya mewarnai sejarah masa lalu Pengging yang sarat dengan legenda dan kisah historis yang menarik untuk ditelaah.
Raden Ngabehi Yosodipuro adalah pujangga dan Keraton Surakarta Hadiningrat yang hidup sekian ratus tahun yang lalu. Ketika meninggal, pujangga tersebut dimakamkan di Desa Bendan, Kecamatan Banyudono. Sekitar 12 km ke arah timur dari Kota Boyolali, atau 200 m ke arah utara dari Pemandian Tirto Marto Pengging. Makam R. Ng. Yosodipuro kini menjadi objek wisata ziarah dengan setiap Jumat Pahing diselenggarakan upacara Sanggaran.
R. Ng. Yosodipuro I masih memiliki garis keturunan dari Kerajaan Pajang. Beliau adalah putra dari pasangan Raden Tumenggung (R.T.) Padmonegoro dan Siti Mariyam (Nyi Ageng Padmonegoro). R.T. Padmonegoro pada masa mudanya adalah prajurit Mataram yang mengikuti Sultan Agung Hanyokrokusumo pada waktu melawan Kompeni (Belanda). Karena kepandaian dan keberaniannya dalam masalah perang, beliau dipercaya dan diangkat sebagai Bupati di Pekalongan.
R. Ng. Yosodipuro lahir pada subuh 1729 dengan nama Bagus Banjar, sehingga ia juga dipanggil Jaka Subuh. Sejak usia 8 tahun, ia telah berguru kepada Kyai Hanggamaya di Bagelen yang menjadi sahabat karib kakeknya.
Bagus Banjar mulai mengabdi kepada Sri Paduka Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II di Keraton Kartasura saat pecah Geger Pecinan pada tahun Alip 1667. Bersama dengan Pangeran Wijil IV dan Tumenggung Aroeng Binang, R. Ng. Yosodipuro ikut berjasa dalam memindahkan Keraton Kasunanan Kartasura ke Desa Sala yang kemudian menjadi pusat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Setelah di Surakarta, Yosodipuro lalu diangkat menjadi abdi dalem kadipaten dan tinggal di bekas Kedung Kol yang sekarang disebut Yosodipuran. R. Ng. Yosodipuro tidak hanya mengabdi kepada PB II, namun juga mengabdi pada PB III dan PB IV.
Empat karya R. Ng. Yosodipuro yang paling tinggi nilainya adalah Serat Rama (saduran dari Kakawin Ramayana), Serat Bratayuda (saduran dari Kakawin Bharatayuddha), Serat Mintaraga (saduran dari Kakawin Arjuna Wiwaha), dan Serat Arjuna Sasrabahu (saduran dari Kakawin Arjuna Wijaya), yang digubah dalam bentuk syair macapat dengan bahasa Jawa baru.
Masjid Ciptomulyo adalah salah satu masjid bersejarah di Boyolali, Jawa Tengah, tepatnya berada di Kawasan Wisata Pengging.
Dulu, kawasan ini merupakan tempat pemandian keluarga Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sri Paduka Susuhunan Pakubuwono X. Di tempat ini, keluarga raja sering menghabiskan waktu untuk bersantai. Oleh karena itu, Pakubuwono X merasa perlu membangun tempat jujugan (peristirahatan) sekaligus tempat beribadah sesuai siraman (mandi).
Pada Selasa, 24 Jumadil Akhir 1838 Hijriah atau tepatnya tahun 1905 Masehi, Sri Paduka Pakubuwono X mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masjid Ciptomulyo, yang berarti menciptakan kemuliaan di dunia dan akhirat. Nama masjid ini cukup unik karena menggunakan bahasa Jawa yang berbeda dari kebanyakan masjid yang memakai bahasa Arab.
Selain namanya yang unik, bangunan Masjid Cipto Mulyo juga menampilkan desain Jawa kuno yaitu berbentuk limasan dan menyerupai pendopo. Masjid ini memiliki 5 pintu utama yang semuanya terletak di bagian depan bangunan masjid. Di atas setiap pintu diberi ukiran-ukiran yang disisipkan tulisan “P.B. X” sebagai tanda bahwa masjid itu dibangun pada masa pemerintahannya. Tulisan seperti ini juga terlihat jelas pada bagian atas gerbang serambi yang berada di depan masjid.
Setelah sempat tenggelam namanya, Pengging mulai dikenal kembali pada awal abad ke-18. Ketika itu, ibukota Mataram dipindahkan ke Kartasura. Sedangkan di Pengging pada abad itu, telah berdiri Pondok Pesantren yang diasuh oleh Kyai Kalifah Syarif dari Bagelen. Beliau mempunyai murid bernama Zainal Abidin. Berkat ketekunannya dalam beribadat, kesabarannya, serta kepandaian yang dimiliki Zainal Abidin, Kyai Syarif sangat tertarik terhadap terhadap kepribadiannya tersebut, dan akhirnya dinikahkan dengan puterinya yang bernama Siti Maryam.
Pada suatu ketika pemerintah Kraton Kartasura menerima pengaduan soal perdata, semua hakim kraton tidak dapat memberi keputusan. Terpaksa kraton mengadakan sayembara untuk mendapatkan hakim yang dapat menyelesaikan atau memberi keputusan soal perdata yang ada. Dari sekian banyak peserta yang mengikuti salah seorang adalah Zainal Abidin, dan ternyata dapat menyelesaikannya dengan baik. Sebagai hadiahnya, Zainal Abidin dijadikan pegawai Kraton Kartasura.
Lama kelamaan latar belakang Zainal Abidin diketahui oleh pihak kraton, bahwa sesungguhnya Kyai Zainal Abidin adalah Bupati Pekalongan bernama Tumenggung Padmonegoro yang telah lama hilang dalam peperangan. Oleh karena itu, Kyai Zainal Abidin diangkat menjadi Bupati Jaksa di Kartasura bernama Tumenggung Padmonegoro, yang berdarah keturunan Sultan Hadiwijaya, dan juga keturunan Susuhunan Amangkurat di Mataram yang dimakamkan di Tegal Arum.
Setelah meninggal, Tumenggung Padmonegoro dimakamkan di Desa Gedong, berdekatan dengan makam Kyai Kebokenongo (Ki Ageng Pengging). Almarhum Tumenggung Padmonegoro memiliki dua putera: Raden Ngabei Yosodipuro I dan Raden Ngabei Yosodipuro II. Pada saat wafat, Raden Ngabei Yosodipuro I dan II dimakamkan di Dukuh Ngaliyan, Desa Bendan, Kecamatan Bayudono, Kabupaten Boyolali. Tepatnya dibelakang Masjid Ciptomulyo. Menurut cerita, masjid ini dibangun oleh Tumenggung Padmonegoro. Semula masjid yang dibangun Tumenggung Padmonegoro, kala itu masih bernama Kyai Zainal Abidin, oleh masyarakat sekitar sering disebut sebagai Masjid Karangduwet. Namun semenjak direnovasi oleh Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) IX, dan selesai pada tahun 1908, masjid itu lalu dinamai sebagai Masjid Ciptomulyo.
Sumber : http://www.thearoengbinangproject.com & http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id
Kategori | Jumlah |
---|---|
Wisata Alam | 59 |
Wisata Buatan | 31 |
Wisata Budaya | 50 |
Taman Nasional | 2 |